Pernahkah kamu merantau lintas provinsi, Lur? Bagaimana rasanya? Menyenangkan bukan? Teman baru, rumah baru, pengalaman baru, serta bahasa baru. Seperti.. kehidupan baru.
Oh! Bahasa, hambatan yang cukup merepotkan sebenarnya, yaaaaah itu menurutku sih. Coba kamu pikirkan, kamu bisa jadi sorotan, bahkan bahan tertawaan Lur. Sekarang, apakah kamu sepaham denganku? Jika iya, aku yakin sekali kamu pernah mengalaminya sendiri. Tapi mohon maaf kalau aku keliru. Begini, aku akan bercerita lebih spesifik lagi mengenai pengalamanku. Oke aku akui, ini semacam curhat. Begitu? Ya.
Aku adalah gadis Cirebon yang mengais pendidikan di Malang. Iya aku tahu ratusan kilometer itu sangat jauh. Kamu pasti tahu bahasa apa yang digunakan di Malang bukan? Benar, Jawa. Sementara aku hidup di lingkungan Sunda. Jelas ini merupakan hambatan. Ya memang, Cirebon juga memiliki bahasa sendiri yang mirip bahasa Brebes. Tapi tetap saja.. berbeda.
Tapi apa kamu tahu bagaimana reaksi teman-temanku di kampus ketika mendengar aku bicara? TERTAWA. Oh tidak tidak tidak. Kamu tidak salah baca dan aku tidak salah mengetik. Kamu benar, mereka tertawa, mereka benar-benar tertawa. O-ou, maaf aku menekankan kata 'tertawa' terlalu sering, hehe. Wajar saja sih menurutku, tidak ada yang salah dengan itu. Oh, ralat. Ada yang salah dengan jiwa rakyat Indonesia.
Seandainya aku bisa berkata dengan lantang, "Kamu juga bakal diketawain kalo kamu nyasar ke tempat saya sendirian!" tapi nyatanya aku tetap bungkam. Ya.. aku mencoba untuk menjaga hati teman-temanku. Lagipula aku sebatang kara di sini, apa jadinya kalau aku berani bicara di tanah orang? Kembali ke topik. Buktinya memang benar, ketika aku melaksanakan Praktik Industri (salah satu program perkuliahan di jurusanku) di perusahaan yang letaknya tidak jauh dari rumahku, ternyata kepala bagian di divisiku adalah orang Malang, asli Malang Lur. Setiap beliau berbicara dengan logat Jawa-nya yang medhok pasti ditertawakan adik-adik PKL. Miris.
Apakah seperti itu sikap Bangsa Indonesia? Ironis sekali bukan? Bukannya menghargai tetapi malah menghinanya secara terang-terangan. Apa namanya kalau bukan menginjak-injak harga diri? Rakyat Indonesia yang seperti ini perlu diberi asupan wawasan nusantara yang lebih.
Seharusnya sebagai anak dari tanah air kamu bangga.. oh maaf, kita bangga dengan ragam bahasa yang kita miliki. Jika kita menghina kekayaan bangsa sendiri, maka tidak ada kemajuan untuk memelihara budaya tradisional kita. Negara-negara yang lebih maju saja mengakui kekayaan Indonesia bahkan mengaguminya. Tapi penduduk pribumi? Ah kita ini.. kalau ada di depan mata diabaikan, tapi ketika sudah diklaim oleh negara lain malah mencak-mencak minta dikembalikan haknya. Apa-apaan? Kalau tidak bisa menjaga, seharusnya kita tidak perlu marah kalau ada yang mencuri. Begitulah istilahnya. Ehm.
Beberapa hari yang lalu, aku baru saja mengenal seseorang yang bernama.. mmmm.. aku lupa siapa nama lengkapnya, yah.. Mas Sisco deh. Mas Sisco ini bercerita tentang salah seorang guru besar bernama Prof. Peter Carey yang telah meneliti negara di Asia Tenggara selama puluhan tahun, khususnya Indonesia. Mas Sisco bilang, ketika mereka berkomunikasi via SMS, mereka berdialog menggunakan bahasa Jawa yang paling halus (aku tidak tahu apa namanya, beritahu aku Lur~ kalau kamu tahu. Oke?). Bahkan Pak Carey ini menguasai banyak bahasa daerah di Indonesia lho Lur! You must say 'wow!' Lurs! Ah-ma-jing sekali bukan? Aku saja tidak begitu mahir Bahasa Sunda, sedangkan beliau yang tumbuh di Eropa.. WOW!!! Bahkan ketika aku mendengar cerita Mas Sisco, bulu kudukku meremang, aku terlalu kagum dengan sosok Pak Carey ini. Ckckck.
Nah Lur, tergerakkah kalian sekarang? Sampaikah pesanku kepada kalian melalui tulisan ini? Oh maaf, aku tidak bermaksud mengkritik secara kasar, aku hanya prihatin, aku hanya ingin berusaha untuk menyadarkan. Damai! ^^